IDENESIA.CO - Di tengah derasnya arus pembangunan dan lonjakan ekonomi, Samarinda Festival 2025 tampil bukan sekadar selebrasi hiburan, melainkan...
IDENESIA.CO - Di tengah derasnya arus pembangunan dan lonjakan ekonomi, Samarinda Festival 2025 tampil bukan sekadar selebrasi hiburan, melainkan sebagai upaya strategis untuk merawat kohesi sosial dan membangun identitas kota yang inklusif.
Pertumbuhan ekonomi Samarinda yang mencapai 8,64% pada triwulan III 2024 menempatkan kota ini sebagai salah satu pusat pertumbuhan baru di Indonesia Timur.
Namun di balik capaian itu, tantangan sosial muncul: bagaimana memastikan harmoni tetap terjaga di tengah keberagaman dan tekanan urbanisasi.
Wali Kota Samarinda, Andi Harun, tampak menyadari hal ini. Dalam pidato pembukaan Samarinda Festival 2025 pada Rabu (30/4/2025), ia menegaskan bahwa festival ini bukan semata ajang hiburan tahunan, tetapi ruang rekayasa sosial yang penting.
"Samarinda bukan hanya kota, tetapi rumah bagi semua. Festival ini harus menjadi ruang perjumpaan, ruang saling mengenal, ruang saling menghargai," tegasnya.
Festival yang berlangsung selama tiga hari di Halaman Parkir GOR Segiri ini menghadirkan penampilan budaya dan konser dari Band Padi, For Revenge, hingga Ndar Boy.
Namun di balik gemerlap panggung, narasi yang diusung jauh lebih dalam: merawat persatuan di tengah keberagaman suku, agama, dan latar sosial yang membentuk wajah Samarinda hari ini.
Dalam pernyataannya, Andi Harun mengangkat filosofi padiyang menunduk saat berisi sebagai cermin masyarakat ideal: rendah hati, tangguh, dan penuh syukur.
Filosofi ini bukan hanya retorika, tetapi pesan moral untuk warga kota agar tidak silau oleh keberhasilan pembangunan yang kasat mata. “Kalau kita tanam padi, rumput ikut tumbuh. Tapi kalau kita tanam rumput, padi tak akan tumbuh,” ujarnya.
Dengan posisi strategis sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur dan sebagai kota penyangga Ibu Kota Negara (IKN). Kota Samarinda kini berada di titik krusial.
Laju migrasi, investasi, dan pembangunan fisik meningkat pesat. Dalam situasi ini, rekayasa sosial melalui pendekatan budaya menjadi kian relevan.
“Tidak akan ada kemajuan tanpa kedamaian,” kata Andi Harun.
(Adv)