IMG-LOGO
Home Nasional EMAK Laporkan Dugaan Kredit Fiktif Bank Plat Merah Senilai Rp200 Miliar, Desak Kejati Kaltim Usut Tuntas
nasional | umum

EMAK Laporkan Dugaan Kredit Fiktif Bank Plat Merah Senilai Rp200 Miliar, Desak Kejati Kaltim Usut Tuntas

oleh VNS - 10 April 2025 13:30 WITA

EMAK Laporkan Dugaan Kredit Fiktif Bank Plat Merah Senilai Rp200 Miliar, Desak Kejati Kaltim Usut Tuntas

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Eksponen Mahasiswa Anti Korupsi (EMAK) resmi melaporkan dugaan praktik kredit fiktif di bank milik pemerintah...

IMG
KOLASE - Kasi Penkum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto (atas) EMAK Kaltim Laporka dugaan kredit fiktif yang dilakukan Bank ber plat merah (Bawah)/ Istimewa

IDENESIA.CO - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Eksponen Mahasiswa Anti Korupsi (EMAK) resmi melaporkan dugaan praktik kredit fiktif di bank milik pemerintah daerah ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Rabu (9/4/2025).

Laporan ini menyertakan bukti-bukti awal dan langsung diterima melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejati Kaltim.

Adit, Koordinator EMAK, menyatakan bahwa dugaan penyalahgunaan kredit ini tak hanya menimbulkan potensi kerugian negara dalam jumlah besar, tetapi juga mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal serta pengabaian terhadap akuntabilitas dana publik.

“Ini bukan semata soal hukum, tapi soal kepercayaan masyarakat terhadap bank yang dibiayai dari uang rakyat,” ucap Adit kepada media.

Menurut Adit, informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa praktik tersebut terjadi di wilayah Malinau dan Bulungan, Kalimantan Utara.

Ia juga menyoroti peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim yang disebut sudah mengetahui dugaan ini, namun belum membuka hasil evaluasinya secara menyeluruh ke publik.

Selain itu, Adit juga merincikan kalau dugaan kredit fiktif yang berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 200 miliar itu sangat disayangkan.

Sebab jika terbukti, maka di dalam bank plat merah telah abai dengan kepentingan masyarakat karena kesalahan tata kelola keuangan.

Adit juga menuturkan kalau dugaan kredit fiktif ini diinformasikan telah diketahui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Kaltim, namun sayang rinciannya belum dibuka secara menyeluruh. Lebih lanjut kata Adit, berdasarkan informasi yang diterimanya, dugaan kredit fiktif melibatkan bank-bank yang berada di bawah naungan pemerintah daerah yang beroperasi di wilayah Malinau dan Bulungan, Kaltara.

“Tentu kami mendesak Kejati Kaltim untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai hal ini. Dugaan penyalahgunaan anggaran yang besar dan melibatkan sektor perbankan daerah tidak bisa dianggap enteng dan harus ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku,” tuntutnya.

“Kami juga mengamati bahwa meskipun Komisi II DPRD Kaltim sudah menyinggung masalah ini dalam rapat dengar pendapat (RDP), namun langkah konkret yang bisa mengungkap kebenaran dari isu ini masih belum jelas,” sambungnya.

Terlebih lagi, lanjut dia, pernyataan Ketua Komisi II DPRD Kaltim yang menyebutkan bahwa penilaian atas masalah ini tetap berada di tangan OJK, tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah menjadi perhatian publik.

“Penanganan yang lebih tegas dan transparan sangat dibutuhkan agar dugaan kredit fiktif ini tidak menjadi ajang pembiaran yang merugikan masyarakat Kaltim dan Kaltara,” tukas Adit.

Ia juga mendorong keterlibatan para pihak terkait, khususnya aparat penegak hukum bisa bertindak cepat mengusut permasalahan ini. Langkah–langkah penyelidikan awal tentu sangat dibutuhkan untuk menghindari semua potensi kerugian negara.

"Kami juga meminta agar Kejati Kaltim bisa dengan cepat melakukan koordinasi dan klasifikasi kepada OJK Kaltim mengenai hasil pemeriksaan dan penanganan masalah ini," tekannya.

Serta memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Menindaklanjuti jika ditemukan indikasi penyalahgunaan dana publik, baik itu dalam bentuk pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang lainnya, dengan menuntut pertanggungjawaban dari pihak yang bersalah.

“Kami juga mendorong transparansi dalam pengelolaan dana penyertaan modal daerah agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas bagaimana dana tersebut digunakan dan memberikan manfaat bagi rakyat,” pungkas Adit.

Sementara itu, Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur menyatakan telah menerima laporan mahasiswa tersebut dan akan melakukan pendalaman sesuai prosedur.

“Akan diproses sesuai tupoksi dan aturan yang berlaku,” ujar Kasi Penkum Kejati Kaltim, Toni Yuswanto.

Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati Kaltim, Haedar, juga memastikan bahwa monitoring terhadap kasus ini akan dilakukan secara ketat. Ia menyebut bahwa modus yang digunakan mirip dengan kasus kredit fiktif yang sedang ditangani Kejati Jakarta, dengan pola sistematis dan dugaan kolusi internal.

Selain masih melakukan pemantauan kasus, Haedar juga menyebut kalau potensi potensi pidana yang terjadi di bank plat merah ini memiliki modus operandi yang nyaris sama dengan kasus yang ditangani Kejaksaan Tinggi Jakarta.

"Dan ini modusnya hampir sama dengan yang terjadi di Bank Jatim. Terkait modus operandinya mirip," tandasnya.

Untuk diketahui, kasus serupa juga terjadi di Bank berplat Merah yang ada di Jakarta. Tepat pada 20 Februari 2025 lalu, Kejaksaan Tinggi Jakarta telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus kredit fiktif dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp 569,4 miliar.

Tiga tersangka yang diamankan pada Februari 2025 itu adalah Kepala Bank Jatim Cabang Jakarta, Benny; pemilik PT Indi Daya Group, Bun Sentoso; serta Direktur PT Indi Daya Rekapratama dan Indi Daya Group, Agus Dianto Mulia.

Kronologi kasus bermula saat tim penyidik Kejati Jakarta mulai memeriksa Benny terkait dengan dugaan manipulasi pemberian kredit di Bank Jatim Cabang Jakarta.

Benny diduga telah memfasilitasi pencairan kredit fiktif kepada PT Indi Daya Group dan PT Indi Daya Rekapratama.

Kredit tersebut diberikan dengan menggunakan agunan atau jaminan dari perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seolah-olah ada kerja sama dengan BUMN padahal tidak ada.

Selain itu, pencairan dana dilakukan atas nama perusahaan nominee, yaitu perusahaan yang digunakan sebagai kedok untuk mendapatkan kredit dengan dokumen yang telah direkayasa.

Modus operandi yang digunakan dalam kasus ini terbilang sistematis. Perusahaan-perusahaan yang dijadikan sebagai debitur sebenarnya tidak memiliki proyek riil atau kemampuan finansial yang memadai untuk mendapatkan kredit dalam jumlah besar.

Namun, dengan bantuan Benny sebagai Kepala Bank Jatim Cabang Jakarta, proses pencairan kredit tetap dilakukan.

Selain itu, peran Fitri Kristiani juga sangat krusial, karena ia bertindak sebagai penghubung yang mengurus berbagai dokumen yang dibutuhkan dalam skema penipuan ini.

Tersangka Bun Sentoso dan Agus Dianto Mulia diduga berkolusi dengan Benny untuk mencairkan 65 kredit utang dan 4 kredit kontraktor.

Total kredit yang telah dicairkan mencapai Rp 569,4 miliar. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang didanai melalui kredit modal kerja, tetapi pada kenyataannya, proyek-proyek tersebut tidak pernah ada.

Penyidik Kejati Jakarta menduga bahwa seluruh dana tersebut berasal dari kredit fiktif yang tidak sesuai dengan prosedur perbankan yang berlaku.

Setelah penetapan tersangka, Kejati Jakarta langsung melakukan penahanan terhadap ketiganya.

Benny ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung, sementara Bun Sentoso ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, dan Agus Dianto Mulia di Rutan Cipinang.

Sementara itu, Fitri Kristiani baru ditetapkan sebagai tersangka pada 4 Maret 2025 dan akan menjalani pemeriksaan lanjutan untuk mendalami perannya dalam kasus ini.

Selain penahanan, penyidik juga melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk rumah Bun Sentoso dan kantor PT Indi Daya Group.

"Saat ini penggeledahan masih berlangsung," ujar Asisten Pidana Khusus Kejati Jakarta, Syarief Sulaiman Nahdi.

Ia menambahkan bahwa dalam penggeledahan tersebut, penyidik menemukan berbagai dokumen yang diduga kuat berkaitan dengan praktik manipulasi kredit fiktif yang dilakukan oleh para tersangka.

Jika dugaan ini terbukti, maka Kalimantan Timur akan mencatat satu lagi ironi dalam tata kelola keuangan daerah — di mana dana publik digunakan untuk membiayai kredit-kredit "hantu" yang tak berdampak apa-apa terhadap pembangunan masyarakat.

(Redaksi)